Sabtu, 17 Desember 2011

tugas minggu ketujuh

Anggota Kelompok : Ocha Indria (25211423), Linda (28211700), Lia Septyana (24211095), Prastika Arianti (25211558) dan Agnestasia (20211323)

Kelas : 1EB21



1.   Sebutkan faktor-faktor penunjang perkembangan manajemen produksi !
Jawab :
Faktor-faktor penunjang perkembangan produksi yaitu :
a.    Adanya pembagian kerja dan spesialisasi
b.    Revolusi industri
c.    Perkembangan alat dan teknologi (termasuk teknologi)
d.    Perkembangan ilmu dan metode kerja

2.  Sebutkan arti produksi dan beri 5 contohnya !
Jawab :
Produksi adalah suatu kegiatan atau proses yang mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output).
Dalam arti sempit, produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang, baik barang setengah jadi, barang jadi, barang industri, suku cadang dan komponen pennjang.
Contoh dari produksi :
a.    Produksi tas
b.    Produksi pakaian
c.    Produksi televisi
d.    Produksi makanan instan
e.    Produksi sabun

3.  Apa yang dimaksud dengan proses produksi terus menerus dan beri 5 contohnya !
Proses produksi terus menerus (continuous production) adalah suatu proses produksi yang mempunyai pola atau urutan yang selalu sama dalam pelaksanaan proses produksi di dalam perusahaan
Contoh dari proses produksi terus menerus meliputi :
a.    Industri gelas
b.    Industri kaca
c.    Industri air mineral
d.    Produksi makanan instant
e.    Produksi motor, mobil

4.  Sebut dan jelaskan 4 macam pengambilan keputusan !
4 macam pengambilan keputusan yaitu :
a.    Pengambilan keputusan atas peristiwa yang pasti
b.    Pengambilan keputusan atas peristiwa yang mengandung risiko
c.    Pengambilan keputusan atas peristiwa yang tidak pasti
d.    Pengambilan keputusan atas peristiwa yang timbul karena pertentangan dengan keadaan yang lain

5.  Sebutkan ruang lingkup manajemen produksi !
Ruang lingkup manajemen produksi yaitu :
a.    Seleksi dan design hasil produksi (produk)
b.    Seleksi dan perancangan proses serta peralatan
c.    Pemilihan lokasi perusahaan serta unit produksi
d.    Perancangan tata letak (layout) dan arus kerja atau proses
e.    Perancangan tugas
f.    Strategi produksi dan operasi serta pemilihan kapasitas





Jumat, 16 Desember 2011

tugas individu 6


REFORMASI KEBIJAKAN HARGA PRODUSEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DAYA SAING BERAS


1. PENDAHULUAN

Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil risiko dalam berusahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi dalam musim panen raya.1,2,3) Manakala risiko suatu usaha dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin4. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri menjadi salah satu unsur penting dalam memperkuat ketahanan pangan dalam situasi pasar beras internasional masih mencirikan pasar tipis (thin market) dan pasar sisa (residual market). 4,5,6)

Kebijakan harga gabah/beras untuk produsen dapat terlaksana karena adanya pengadaan, dalam hal ini BULOG sebagai lembaga pengesekusi. Pengadaan gabah/beras dapat terealisasi karena adanya mekanisme penyalurannya. Penyaluran beras pengadaan tersebut akan terhambat apabila kualitas gabah/beras tetap rendah.4,7,8,9) Kualitas gabah dan beras adalah salah satu kunci daya saing industri padi dan beras nasional10. Oleh karena itu, kebijakan harga dan insentif pendukung lainnya perlu dirancang untuk saling memperkuat keterkaitan tersebut, sehingga mampu memperkuat industri primer (padi) dan industri sekunder (beras).11,12)

Dalam dua puluh tahun terakhir telah tersedia berbagai teknologi panen, pasca-panen, dan penggilingan padi yang mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas gabah/beras, namun terkendala dalam penerapannya, karena rendahnya insentif yang diperoleh petani dan pelaku usaha. Teknologi padat karya pada umumnya masih diadopsi petani meskipun upah buruh terus meningkat. Unit penggilingan padi skala kecil masih mendominasi industri pengolahan gabah. Indonesia jauh tertinggal dalam penerapan teknologi panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan padi dibandingkan dengan beberapa negara produsen padi di Asia, seperti Vietnam, Thailand, dan Cina.1,13,14,15,16)

Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) kini sedang berada di persimpangan jalan, dengan pengertian apakah akan mereformasi kebijakan harga untuk menghadapi tantangan baru di era liberalisasi? Atau, apakah pemerintah akan tetap mempertahankan HPP kualitas tunggal, yaitu beras kualitas medium yang telah diterapkan selama 41 tahun terakhir, pada: (i) era swasembada/surplus produksi; (ii) era tuntutan peningkatan jumlah serta perbaikan kualitas gabah/beras pengadaan dalam negeri dan stok publik cadangan beras pemerintah; (iii) era pengadaan BULOG dinaikkan dari 6-7% menjadi 8-10% terhadap total produksi beras nasional; dan (iv) era persaingan bebas untuk komoditas beras di kawasan ASEAN FTA.

Dengan latar belakang inilah fokus utama materi orasi ini disusun untuk mendukung kebijakan baru tentang HPP, strategi pengadaan gabah/beras BULOG, dan kualitas cadangan beras pemerintah (CBP).

II. KEBIJAKAN HARGA UNTUK PETANI DAN PERAN PENGADAAN BULOG

Kebijakan harga dan non-harga buat komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non-harga dilaksanakan secara bersamaan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi.8,17,18)

Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi melalui program bimbingan massal (BIMAS) pada pertengahan 1960an. Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi melalui kebijakan non-harga, seperti memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh untuk mendorong petani meningkatkan produksi, karena harga gabah/beras yang diterima petani seringkali di bawah biaya produksi.2,8,18,19)

Dukungan pemerintah terhadap kebijakan harga berbeda antara di era reformasi dibandingkan dengan era orde baru (ORBA), terutama terkait dengan desentralisasi, peran teknokrat yang sangat rendah dan sebaliknya politikus.

2.1. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan ORBA 

Pada era ORBA, pemerintah menetapkan harga gabah dan beras dengan instrumen harga dasar. Pemerintah melalui BULOG melakukan pengadaan gabah/beras, yang pada tahun-tahun tertentu seperti yang terjadi pada era swasembada pertengahan 1980an, melebihi jumlah penyaluran untuk menjaga harga gabah dan beras tidak jatuh di bawah harga dasar.

Penetapan harga dasar ditentukan oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai untuk itu berubah dari waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kg gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kg urea.

Sejak awal tahun 1990an, harga dasar ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya produksi, tingkat inflasi, dan harga beras di pasar internasional. Harga beras luar negeri dipakai sebagai patokan biaya oportunitas dan efisiensi pada industri beras nasional.10,20,21,22,23)

Kebijakan harga yang tepat, diimbangi oleh pengeluaran publik yang tinggi untuk irigasi, riset dan penyuluhan, didukung oleh ketepatan kebijakan moneter dan fiskal telah membuat Indonesia mampu berswasembada beras pada 1984. Namun, sejak akhir 1980an sampai pertengahan 1990an terjadi pelandaian produksi beras. Indonesia terpaksa harus mengimpor beras yang terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan dalam negeri.

2.2. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan Reformasi

Pemerintah di era reformasi menata ulang kebijakan harga yang terabaikan dalam periode 1997-2000. Pada waktu itu, pemerintah terpaksa menempuh liberalisasi pasar beras yang radikal, karena "tekanan" lembaga donor.24 Pada akhir tahun 2001, pemerintah berhasil menata ulang kebijakan perberasan nasional.

Perubahan harga dari harga dasar (HD) menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tertuang dalam diktum ketiga Inpres No. 9/2001 tentang penetapan kebijakan perberasan dan berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era reformasi lebih komprehensif, mencakup kebijakan harga dan non-harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah (targeted).8,12) Inpres kebijakan perberasan tersebut diperbaharui hampir setiap tahun. Sejak 2005, istilah HDPP diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP).

Biaya dalam pelaksanaan kebijakan HPP relatif lebih murah dibandingkan dengan kebijakan harga dasar, karena pemerintah hanya membeli beras/ gabah secukupnya, sesuai dengan kebutuhan penyaluran.8,25) Kebijakan ini semakin umum dipraktekkan di negara produsen utama beras, seperti Thailand dan Cina.

Dalam enam tahun terakhir, penetapan HPP tidak lagi merujuk kepada harga beras internasional, tetapi sepenuhnya ditentukan oleh ongkos produksi10. Biaya produksi gabah terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga sarana produksi, bahan bakar minyak (BBM), dan upah tenaga kerja. Harga pembelian beras pemerintah (kualitas medium FOB Jakarta) pada 2009 ditetapkan lebih tinggi (US$ 508/ton) dibandingkan dengan harga beras internasional dengan kualitas yang sama, yaitu US$ 384/ton (FOB Vietnam 25%). Pada tahun 2010, pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10% yang makin mendorong penurunan daya saing beras berkualitas medium yang dihasilkan Indonesia.10,26)

Sejak 2007, kebijakan harga dan subsidi pupuk mendapat dukungan politik yang kuat dari DPR. Di pihak lain, dana publik/APBN yang dialokasikan untuk perbaikan irigasi, perbaikan kualitas lahan, riset dan penyuluhan, serta penerapan teknologi panen/pasca-panen diprioritaskan rendah.27,28,29) Walaupun produksi gabah naik cukup tinggi (5,4%/tahun) dalam periode 2007-2009, tetapi sumber pertumbuhan produksi berasal dari kenaikan luas panen (2,9%/tahun), sisanya dari kenaikan produktivitas (2,5%/tahun). Dominasi kebijakan harga dan subsidi pupuk ternyata belum cukup ampuh memecahkan kendala dari sisi suplai beras nasional (supply constraints).

2.3. Harga Gabah dan Pengadaan BULOG

Harga gabah di tingkat produsen dan pengadaan BULOG berkorelasi positif, yaitu 0,547 pada musim panen gadu, 0, 358 pada musim panen paceklik, dan 0,018 pada musim panen raya. Harga gabah ditentukan oleh musim panen padi, yaitu rendah pada musim panen raya dan tinggi di musim paceklik. Volume pengadaan gabah/beras BULOG juga berkaitan erat dengan musim panen dan harga gabah/beras di pasar.9,30,31)

2.3.1. Pola Pergerakan Harga Gabah Menurut Musim

Pola panen padi mengikuti pola musiman, dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu musim panen raya, musim panen gadu, dan musim panen paceklik9,30,31). Musim panen raya berlangsung selama periode Februari-Mei dengan rata-rata luas panen 51% dari 11,8 juta ha areal panen dalam periode 2003-2007. Masa panen berikutnya adalah musim panen gadu (Juni-September) yang mengambil porsi 33%, dan sisanya 16% berlangsung pada periode musim panen paceklik (Oktober-Januari).30 Pada tingkat nasional, walau pada musim paceklik sebagian kecil petani masih melakukan panen padi, karena diantara mereka tidak terkendala dengan ketersediaan air.

Harga gabah merosot rendah pada periode musim panen raya, dan meningkat setelahnya, kemudian melambung dengan harga paling tinggi pada periode musim panen paceklik20,31). Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) tingkat produsen dalam dua tahun terakhir (2008-2009) lebih tinggi 10% pada musim panen gadu dan 16% pada musim panen paceklik dibandingkan dengan musim panen raya.

Kualitas gabah/beras juga mengikuti musim panen. Kualitas gabah pada musim panen gadu dan musim panen paceklik jauh lebih baik dibandingkan dengan musim panen raya. Membaiknya kualitas gabah/beras dalam dua musim tersebut disebabkan oleh cukupnya sinar matahari, rendahnya serangan hama dan penyakit, sehingga kandungan butir hampa, butir hijau dan butir kapur rendah, dan pengeringan gabah menjadi mudah sehingga kandungan butir kuning rendah.32) Oleh karena itu, harga gabah/beras akan tinggi pada periode tersebut, mengikuti perkembangan kualitas gabah/beras dan tingkat produksi.26)

Ketika pemerintah menerapkan HPP untuk beras kualitas medium yang berlaku sepanjang tahun, maka kebijakan tersebut sebenarnya "melawan" pergerakan harga dan perbaikan kualitas. Disinilah letak kelemahan mendasar penerapan HPP kualitas medium yang berlaku sepanjang tahun.26)

2.3.2. Pola penyerapan Gabah/Beras oleh BULOG

Pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan HPP karena adanya BULOG sebagai lembaga pelaksananya. Lembaga BUMN ini membeli gabah/beras antara 2-3 juta ton/tahun atau 6-8% dari total produksi beras nasional. Pengadaan beras/gabah setara beras pada musim panen raya dapat mencapai 66%, musim panen gadu 30%, dan hanya 4% pada musim panen paceklik.26,30)

Dalam melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri, BULOG bekerjasama dengan penggilingan padi swasta. BULOG mengelompokkan penggilingan padi swasta ke dalam empat tipe, yaitu A, B, C, dan D. Setiap kelompok menggambarkan alat/proses pengeringan padi, kapasitas giling, dan tempat atau cara penyimpanannya33). Kelompok tipe A adalah yang tertinggi dan tipe D terendah. BULOG tidak pernah bekerjasama dengan penggilingan padi tipe A karena mereka menghasilkan beras berkualitas premium atau super10), tetapi BULOG membeli beras berkualitas medium.

Setiap tahun BULOG bekerjasama dengan 4.500 hingga 5.000 unit penggilingan padi skala kecil yang sebagian besar adalah penggilingan padi tipe D dan C. Semakin banyak pengadaan BULOG pada kelompok D dan C, semakin tinggi permintaan terhadap beras berkualitas medium, dan semakin rendah insentif mereka untuk memperbaiki kualitas beras di luar kualitas medium. Diperkirakan 80% hasil penggilingan padi mereka ditampung oleh BULOG. Segmen pasar beras berkualitas medium terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya produksi dan volume pengadaan beras dalam negeri oleh BULOG. Inilah salah satu alasan mengapa pengusaha penggilingan skala kecil enggan berinvestasi pada penggilingan padi modern.

Pada era swasembada/surplus produksi, penyerapan gabah/beras oleh BULOG didorong hingga mencapai 10% atau sekitar 4 juta ton beras. Penyerapan yang tinggi untuk beras berkualitas medium telah berdampak luas terhadap kualitas pengadaan BULOG dan kualitas cadangan beras pemerintah yaitu menurun.26)

Sejak terjadinya swasembada/surplus produksi beras periode 2008-2009, pemerintah terus mendorong peningkatan pengadaaan BULOG dari rata-rata 1,8 juta ton beras pada periode 2003-2007 menjadi 3,4 juta ton pada periode 2008-2009, atau meningkat 1,6 juta ton/tahun. Peningkatan pengadaan dalam jumlah besar periode musim panen gadu dan musim panen paceklik yang secara teoritis sulit dilakukan, karena pada periode tersebut kualitas gabah/beras umumnya lebih baik dan harganya tinggi, lebih tinggi dari HPP.26)

III. KEBIJAKAN HARGA DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BERAS

Industri padi adalah industri primer, yang terus didorong pengembangannya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan harga dan non-harga. Namun di pihak lain, industri beras khususnya industri penggilingan padi belum kokoh dalam mendukung industri primer, karena minimnya sentuhan kebijakan pemerintah. Hal inilah yang telah mempengaruhi kualitas, harga, dan daya saing beras Indonesia.

PERPADI34 melaporkan bahwa jumlah penggilingan padi dewasa ini 109 ribu unit, didominasi oleh penggilingan padi skala sederhana dan kecil sebesar 95% dari total kapasitas giling. Sisanya 5% adalah pangsa penggilingan padi skala besar. Umumnya penggilingan padi skala sederhana dan kecil merupakan investasi pada akhir tahun 1960an sampai awal tahun 1980an. Pada waktu itu, pemerintah membatasi perkembangan unit penggilingan padi skala besar agar unit penggilingan padi skala kecil yang umumnya dimiliki oleh swasta pribumi mampu bersaing dalam struktur pasar gabah/beras yang oligopoli.19)

Rendemen giling gabah di Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan dengan rendemen giling gabah di beberapa negara produsen padi di Asia. Rendemen giling gabah kering giling (GKG) di Cina 70%, Thailand 69,1%, sementara di India, Bangladesh, dan Vietnam masing-masing 66,6%, sedangkan di Indonesia 62,7%. Rendemen giling dapat dipakai sebagai salah satu indikator daya saing industri perberasan nasional.

Kondisi teknologi unit penggilingan padi skala kecil yang sudah tua menjadi penyebab merosotnya kualitas beras, tingginya kehilangan hasil pada kegiatan pengeringan dan penggilingan.35,36,37,38) Investasi untuk pengembangan penggilingan padi modern berjalan sangat lambat di Indonesia.1,26)
Perhatian pemerintah terhadap industri penggilingan padi amat minim. Skim kredit untuk keperluan tersebut dan kebijakan fiskal belum mendukung modernisasi industri penggilingan padi. Hal ini ditambah dengan HPP yang dinaikkan hampir setiap tahun, namun "ditekan rendah" bagi pelaku industri pengolahan. Pada tahun 2006, misalnya, HPP untuk gabah kering panen (GKP) naik 30%, sedangkan HPP gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan naik 27%, sedangkan kenaikan HPP beras 0%.

Rasio harga beras terhadap harga GKP yang ditetapkan pemerintah memperlihatkan hal yang sama. Rasio harga beras terhadap GKP pada tahun 2003 sebesar 227%, menurun menjadi 210% pada tahun 2005, merosot lagi menjadi 192% sejak tahun 2009. Semakin rendah rasio tersebut, semakin kurang berminat produsen untuk memperbaiki kualitas beras dan menerapkan teknologi baru.
Kenaikan yang tidak proporsional itu telah mengakibatkan sebagian industri penggilingan padi, terutama skala kecil, merugi. Majalah PADI39 melaporkan 25-30% unit penggilingan padi tidak beroperasi, terutama penggilingan padi skala kecil/sederhana yang umumnya adalah usaha kecil menengah (UKM).

Thahir40) dalam naskah orasi pengukuhan profesor riset telah membahas perlunya program nasional untuk perbaikan rendemen beras guna mendukung keberlanjutan swasembada beras dan daya saing global. Setyono41) dalam naskah orasi profesor riset menganalisis pentingnya penerapan teknologi panen dan pasca-panen untuk meningkatkan mutu gabah dan beras. Namun, perbaikan teknologi pasca-panen dan revitalisasi industri penggilingan padi tidak akan terealisasi, tanpa insentif yang memadai bagi petani dan pelaku usaha.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mereformasi kebijakan HPP agar mampu memberikan insentif sehingga petani dan pelaku usaha penggilingan padi bersedia menerapkan teknologi baru. Hal itu menjadi penting dalam rangka antisipasi liberalisasi perdagangan gabah/beras di masa mendatang.

IV. LIBERALISASI PERDAGANGAN BERAS

Indonesia telah lama terlibat dalam berbagai perjanjian perdagangan produk pertanian dan non-pertanian di tingkat multilateral, regional, dan bilateral.42,43,44,45,46)

4.1. Perdagangan Multilateral

Indonesia ikut aktif dalam negosiasi di Putaran Doha WTO yang dimulai sejak akhir 2001 dan belum membuahkan kesepakatan hingga sekarang. Indonesia masuk dalam kelompok G-33, kelompok negara berkembang yang memperjuangkan sejumlah produk pertanian menjadi special product (SP), dan mengajukan perlindungan sementara melalui special safeguard mechanism (SSM).24,43)
Beras adalah salah satu komoditas pangan yang akan dimasukkan sebagai SP, sehingga tingkat liberalisasinya tidak terlalu besar dari yang telah diikat (bound) pada perundingan sebelumnya. Indonesia menuntut mekanisme perlindungan yang efektif melalui SSM untuk beras dan sejumlah produk pertanian lainnya. Perlindungan khusus ini juga akan punya batas waktu seperti halnya SP.24,43)

4.2. ASEAN FTA (AFTA) dan ASEAN China FTA (ACFTA)

Indonesia juga ikut aktif dalam berbagai perjanjian perdagangan regional, salah satu yang terpenting adalah AFTA. Negara ASEAN-6 telah berkomitmen dalam kerangka common effective preferensial tariff scheme (CEPT) untuk menghilangkan hambatan perdagangan dan menurunkan tarif impor semua produk ke tingkat 0-5% pada tahun 2010, kecuali beras dan produk yang masuk dalam kelompok highly sensitive list. Produk pada kelompok terakhir ini45,47) akan diliberalisasi paling lambat 1 Januari 2018.

Indonesia ikut pula dalam perjanjian ASEAN China FTA (ACFTA) yang tingkat liberalisasi dan produknya dibahas secara bilateral antara Indonesia dan Cina. Dalam kerja sama perdagangan ini, Indonesia telah menyepakati program penurunan tarif melalui tiga tahapan penjadwalan liberalisasi. Pada tahap III, tingkat tarif produk dalam kelompok highly sensitive menjadi 0-5% dan hambatan non-tarif akan dihapus. Beras47 adalah salah satu produk yang akan diliberalisasi penuh, paling lambat pada tahun 2018).

Oleh karena itu, dalam beberapa tahun mendatang, produsen padi/beras Indonesia akan langsung menghadapi persaingan dengan Vietnam, Thailand, Cina, Kamboja, dan Laos. Hal itu juga akan berdampak terhadap keberadaan lembaga parastatal atau Badan Layanan Umum (BLU) seperti BULOG di Indonesia, BERNAS di Malaysia, dan NFA di Filipina.

V. ARAH DAN FORMULASI KEBIJAKAN HARGA KE DEPAN

5.1. Arah dan Sasaran

Selain produktivitas, industri padi dan beras harus diperkuat dengan memproritaskan pada peningkatan efisiensi melalui pengurangan kehilangan hasil pada tahap pemanenan, perontokan, pengeringan, dan penggilingan gabah.

Kebijakan harga dan non-harga bagi produsen perlu dipertahankan, namun prioritasnya diberikan pada non-harga guna mempercepat peningkatan produktivitas dan efisiensi. Kebijakan harga perlu diubah dari kualitas tunggal atau medium ke multi-kualitas atau kualitas super dan premium, sehingga tercipta insentif untuk mendorong perbaikan kualitas gabah/ beras.

Pengadaan gabah/beras oleh BULOG juga diarahkan untuk mendorong perbaikan kualitas beras dan gabah, dengan mengimplementasikan kebijakan harga multi-kualitas. Lembaga BULOG harus diperankan dalam memecahkan kebuntuan investasi dalam industri penggilingan modern melalui pengadaan yang berbeda kualitas, dan penyaluran beras.

Selama lima tahun terakhir, beberapa anggota DPR/DPRD, pejabat Pemda, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pakar ekonomi pertanian mengusulkan agar pemerintah menerapkan HPP yang berbeda antar-wilayah. Kalau itu ditempuh maka tidak saja salah urus di lapangan akan lebih tinggi, tetapi juga pengamanan HPP menjadi kurang efektif, dan tidak mampu memecahkan persoalan perbaikan kualitas beras/gabah.26)

Pengalaman dari negara produsen di Asia memberikan keyakinan bahwa hampir tidak ditemui lagi penetapan harga dasar atau HPP dengan kualitas tunggal atau medium yang berlaku sepanjang tahun. Mereka menetapkan tingkat harga dasar atau HPP yang berbeda karena perbedaan kualitas beras, yaitu menurut butir patah, musim panen, dan varietas, seperti yang dilaporkan oleh FAO.48,49)

5.2. Strategi Kebijakan Harga Beras ke Depan

Indonesia juga harus mengimplementasikan kebijakan harga multi-kualitas dengan kombinasi kriteria:

(i) Perbedaan kualitas beras menurut butir patah, yaitu beras patah 5% atau 25%, tanpa butir menir.
(ii) Perbedaan musim panen, yaitu musim hujan atau musim kemarau.
(iii) Perbedaan varietas, yaitu varietas unggul atau varietas lokal/aromatik.

Tingkat HPP untuk butir patah 5%, dipanen pada musim kemarau, dan varietas lokal/aromatik ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan beras berkualitas medium. Kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) harus ditingkatkan secara bertahap dari kualitas medium menjadi kualitas premium/super dengan tahapan:

(i) Pada tahun pertama, sepertiga jumlah CBP diisi oleh beras kualitas premium/super, dan
(ii) Pada tahun ketiga, seluruh CBP telah terisi dengan beras kualitas premium/super.

VI. KESIMPULAN, SARAN, DAN IMPLIKASI

Kesimpulan, saran, dan implikasi yang dapat ditarik dari orasi ilmiah ini adalah sebagai berikut:

6.1. Kesimpulan

Indonesia akan segera meliberalisasi perdagangan beras di kawasan AFTA dan ACFTA, sehingga peningkatan daya saing dalam industri padi dan beras menjadi sangat penting.
Kebijakan HPP dengan kualitas tunggal atau medium yang diterapkan selama 41 tahun berdampak negatif terhadap daya saing gabah/beras nasional, antara lain:

(i) Kontra-produktif pada era swasembada/surplus produksi beras, pengadaan dalam negeri oleh BULOG dan volume CBP terus ditingkatkan, karena beras berkualitas medium hanya dapat disimpan dalam jangka waktu lebih singkat dengan biaya perawatan stok yang lebih tinggi, dan sulit disalurkan.
(ii) Menghambat perbaikan kualitas beras yang dihasilkan oleh unit penggilingan padi skala kecil yang jumlahnya dominan, dan sebagian besar hasil penggilingannya disalurkan ke BULOG, karena besarnya segmen pasar untuk industri kecil ini.
(iii) Menjadi salah satu kendala dalam modernisasi industri penggilingan skala kecil dan perluasan adopsi dryers, sehingga sulit mengurangi susut hasil dan meningkatkan rendemen giling.
Tekanan politik kepada pemerintah semakin besar pada saat subsidi masukan (input) untuk tanaman padi dikurangi, dan pemerintah didorong untuk menaikkan HPP.

Sejak 2004, kenaikan HPP lebih banyak ditentukan oleh biaya produksi, tidak lagi mengacu pada perbandingan harga beras internasional.

Negara-negara produsen beras di Asia tidak menganut kebijakan harga dasar atau HPP tunggal. Pengalaman dari negara lain di Asia menunjukkan bahwa tingkat harga dasar atau HPP diberlakukan berbeda karena perbedaan kualitas beras menurut butir patah, musim panen, varietas, atau kombinasi di antaranya.

6.2. Saran

Pemerintah perlu segera mengoreksi kebijakan HPP beras dari kualitas tunggal atau medium menjadi multi-kualitas. Penerapan HPP sebaiknya juga mengacu pada harga internasional, sehingga Indonesia lebih mampu berkompetisi di pasar global. Pengadaan beras oleh BULOG juga perlu mengikuti pengadaan beras multi-kualitas. Beras berkualitas medium tetap dipertahankan, namun volumenya dikurangi seiring dengan berkurangnya penyaluran untuk publik. Sebaliknya, jumlah beras berkualitas premium/super ditingkatkan untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP).
Beras multi-kualitas dapat dipertimbangkan dengan berbagai kombinasi kriteria, seperti: (i) perbedaan butir patah, yaitu 5% atau 25%, tanpa butir menir; (ii) perbedaan musim, yaitu kemarau atau musim hujan; (iii) perbedaan varietas, yaitu varietas lokal/aromatik atau varietas unggul.
Pemerintah tidak dianjurkan untuk menetapkan HPP gabah/beras yang berbeda antar-wilayah, namun tetap beras berkualitas medium. Perbedaan HPP antar daerah tidak akan mampu memecahkan masalah perbaikan kualitas beras/gabah, tetapi akan memperlemah usaha peningkatkan daya saing industri padi/ beras nasional.

6.3. Implikasi

Penerapan kebijakan harga beras multi-kualitas berimplikasi terhadap:
(i) Mendorong peningkatan volume pengadaan dalam negeri oleh BULOG yang dalam waktu yang sama dapat meningkatkan kualitas beras pengadaan dan penyalurannya, serta meningkatkan harga yang diterima produsen.
(ii) Industri penggilingan padi akan merespon dengan memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan, terjadi percepatan adopsi dryers dan mendorong modernisasi unit penggiligan padi. Dalam jangka panjang akan mempercepat perbaikan kualitas beras/gabah;
(iii) Petani akan terangsang untuk memperbaiki kualitas gabah dengan menanam varietas terpilih.
Dorongan perbaikan kualitas beras akan lebih cepat terealisasi pada saat pemerintah memberlakukan skim kredit khusus dan insentif fiskal untuk modernisasi penggilingan padi dan perluasan adopsi teknologi panen dan pasca-panen.

M. Husein Sawit

tugas individu 5

Pertanian, Pengangguran dan Kemiskinan

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi adalah untuk kesejahteraan rakyat. Bagaimana menjelaskan pembangunan ekonomi tetapi pengangguran dan kemiskinan masih berkelana di tengah masyarakat banyak? Bagi Rostow (1960), pembangunan ekonomi akan sustainable bila kemajuan industri dan jasa didukung maju pertanian, sektor penyerap terbesar lapangan kerja. Kemiskinan terkait lapangan kerja.
Penduduk miskin perdesaan lebih besar dari perkotaan (Grafik 1 dan 2). Jumlah dan persentase penduduk miskin periode 1996–2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun:

•Periode 1996-1999: penduduk miskin meningkat dari 34,01 juta (1996) menjadi 47,97 juta (1999). Di perdesaan akhir 1999 meningkat dari 19,78% menjadi 26,03%, lebih besar dari perkotaan (19,41%).
•Periode 2000-2005: penduduk miskin menurun dari 38,07 juta (2000) menjadi 35,01 juta (2005). Penurunan terjadi juga pada persentase penduduk miskin perdesaan dari 22,38% pada (2000) menjadi 19,98% (2005). Periode sama, persentase kemiskinan perdesaan masih lebih besar dari perkotaan.
•Periode 2005-2009: penduduk miskin tahun 2006 sempat naik dari 35,1 juta (15,97%) menjadi 39,3 juta (17,75%), karena inflasi 17,95%. Di akhir tahun 2009 jumlah kemiskinan turun menjadi 32,53 juta (14,15%) dengan persetase kemiskinan perdesaan masih lebih besar dari perkotaan (17,35%).

 

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz2.gif

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz3.gif

Penduduk miskin di perdesaan umumnya petani (Tabel 1). Menurunkan angka kemiskinan, selain menitikberatkan pertumbuhan ekonomi, juga harus menerapkan pemerataan distribusi pendapatan yang baik melalui sektor pertanian.

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz4.gif

Anne Booth dan Firdaus (Effect of Price and Market Reform on the Poverty Situation of Rural Communities and Firm Families, 1996) menyatakan penyebab kemiskinan adalah keterbatasan penduduk mengakses pasar, fasilitas publik dan kredit.
 

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz5.gif

Jhingan (2002) menyebut faktor demografi berpengaruh pada kemiskinan. Pertumbuhan penduduk pesat memperberat tekanan pada lahan, pengangguran dan memicu kemiskinan. Pertambahan penduduk berkurang, kemiskinan juga berkurang (teori pertumbuhan penduduk berbeda di negara maju dan berkembang, lihat teori modern economy dan neoclasical economy). Modal dan penguasaan teknologi dapat mengentaskan kemiskinan (Solow Growth Theory).

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN HINGGA 2009

RKP 2009: “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan” dengan prioritas:
1. Peningkatan Pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan
2. Percepatan pertumbuhan berkualitas, memperkuat daya tahan ekonomi didukung pembangunan pertanian, infrastruktur dan energi.
3. Peningkatan upaya anti korupsi, reformasi birokrasi, serta pemantapan demokrasi, dan keamanan dalam negeri.

Di sektor pertanian, agenda selain atasi kemiskinan, kesenjangan dan kesempatan kerja, inventarisasi dan ekspor, juga revitalisasi pertanian dan pedesaan. Pembangunan pertanian menciptakan kesempatan kerja, dan mengentaskan kemiskinan, menjadi penyedia lapangan pekerjaan yang besar.

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz6.gif
 

Produk Domestik Bruto (PDB)

Pertumbuhan PDB pertanian hingga tahun 2008 mencapai 4,7% (Tabel 2) yang diperoleh dari pertumbuhan PDB subsektor perkebunan, peternakan, tanaman pangan, kehutanan, dan perikanan

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz7.gif

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz8.gif

Tingkat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hingga tahun 2009 mencapai 43,03 juta orang. Total angkatan kerja 113.74 juta, jumlah pengangguran terbuka pada 2009 ditekan 8,14% (9,26 juta). Tabel 2 dan 3, pertumbuhan sektor pertanian menunujkkan penyerapan tenaga kerjai sektor pertanian 37,83 % di tahun 2009.
 

PDB sektor pertanian tahun 2007, hampir seluruh sub sektor tumbuh. Sub sektor tanaman pangan tumbuh 3,35%, perkebunan 4.4% dan perikanan 5,39%. Di 2009, subsektor tanaman pangan tumbuh 4,9%, perkebunan 4,4% dan peternakan 4,9%.
 

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz9.gif

Dilihat dari proporsi masing-masing sub sektor, kontribusi sub sektor tanaman pangan mencapai 49.9% (tabel 4), yang diikuti oleh subsektor perikanan dan perkebunan. Kontribusi sub sektor tanaman pangan terbesar karena jumlah pelaku usaha pertanian tanaman pangan juga terbesar dibanding sub sektor lainnya. Kenaikan pada subsektor tanaman pangan didorong oleh kenaikan produksi padi, komoditas sektor perkebunan terkait dengan peningkatan ekspor dan perbaikan harga komoditas perkebunan dunia. Sementara pada subsektor peternakan, kenaikan PDB disebabkan pulihnya kondisi konsumen untuk mengkonsumsi produk peternakan unggas. Oleh karena itu, untuk mendorong sub sektor tanaman pangan diperlukan sumberdaya (SDM atau SDA?) yang lebih besar karena banyaknya pelaku usaha pertanian yang bermain di dalamnya

SUBSIDI PERTANIAN

Total anggaran sektor pertanian cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan total subsidi pertanian (termasuk subsidi pangan) mencapai sekitar 75% dari total anggaran sektor pertanian (Grafik 5).
 

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz10.gif
 

Subsidi yang terus meningkat ini menunjukan dukungan pemerintah kepada petani atas biaya produksi untuk peningkatan produksi nasional dan ketahanan pangan. Pada 2009, total subsidi pertanian Rp 33,5T terdiri dari subsidi pupuk 52.3% (Rp 17,5T), subsidi benih Rp 1,3T, subsidi pangan Rp 12,9T dan kredit program Rp 1,6T.
 

Subsidi pupuk meningkat drastis pada 2007-2009 dari Rp 6.3T (2007) menjadi Rp17,53T (2009), tetapi juga perlu perhatian efektifitas program karena kelangkaan pupuk sering terjadi pada musim tanam. Angka subsidi benih tahun 2009 juga meningkat menjadi Rp 1,3T (2009). Walau subsidi benih dimaksud meningkatkan penggunaan benih bersertifikat, program ini belum merata. Pemerintah baru fokus subsidi benih padi, petani jagung/kedele belum mendapat subsidi benih.

Subsidi pertanian meningkatkan kegiatan dan outcome di sektor pertanian, selama ini tidak didukung sistem distribusi baik, sering dinikmati petani bermodal besar. Subsidi menyebabkan distorsi harga terutama pupuk yang sering disalahgunakan ke sektor tidak bersubsidi, seperti perkebunan. Lebih parah lagi, banyak pupuk diselundupkan karena disparitas harga tinggi. Perlu pengawasan distribusi pola tertutup, agar efektivitas subsidi meningkatkan produktivitas hasil pertanian, kesejahteraan petani, terutama petani dengan modal kecil dan sedang.

INVESTASI PERTANIAN

World Development Report (WDR) terbaru Bank Dunia, terkait pertanian dan kemiskinan pedesaan, menyatakan bahwa investasi sektor pertanian merupakan cara terbaik mengatasi kemiskinan di pedesaan negara berkembang. Investasi lebih besar di sektor pertanian merupakan langkah vital bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin di negara-negara tersebut. Laporan Agriculture for Development tersebut mengungkapkan, dunia akan gagal mencapai target pengurangan hingga setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada 2015, kecuali pertanian dan pedesaan diperhatikan (Bisnis Indonesia, 2007). Menurut WDR, pertumbuhan PDB dari pertanian empat kali lebih efektif kurangi kemiskinan dibandingkan pertumbuhan dari luar sektor ini.
 

Total realisasi investasi PMDM sektor pertanian pada 2005-2007 cenderung meningkat dengan pertumbuhan 7,23%. Hal yang sama dialami juga investasi PMA dengan laju pertumbuhan 8,3% (Grafik 6).

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz11.gif
 

Pangsa pasar investasi sektor pertanian terhadap total investai PMDN pada 2 tahun terakhir hanya sekitar 10%, mengalami penurunan dibanding tahun 2006 sebesar 17,12% (Tabel 5). Hal ini, akibat return dan payback di sektor pertanian yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain, sehingga pertanian kurang mendapat perhatian dari lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.

Alokasi subsektor, investasi sektor pertanian terbesar pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan mencapai 90%, sisanya ada pada subsektor peternakan, kehutanan dan perikanan. Tanaman pangan dan perkebunan memiliki kontribusi cukup besar mendorong pertumbuhan pertanian. Investasi pertanian terhadap total investasi PMA menyumbang 2,5%, mengalami penurunan dibanding tahun 2006 sebesar 6.2%. Investasi PMDN, investasi PMS didominasi subsektor tanaman pangan dan perkebunan (Tabel 5). Investasi PMA yang rendah dipicu kurangnya bibit unggul komoditi pertanian di Indonesia. Seperti di peternakan, investor asing yang menggeluti usaha penggemukkan ternak, melakukan impor ternak dari negara yang memiliki bibit-bibit ternak unggul. Dengan biaya transportasi besar, investor asing kurang tertarik atas investasi di pertanian. Perlu peningkatan riset pertanian dengan memaksimalkan peran perguruan tinggi dan litbang.

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz12.gif

LAHAN PERTANIAN

Tantangan yang dihadapi sektor pertanian pada tahun 2009 antara lain:
• Rendah produksi pangan pokok karena konversi untuk yang lain (Grafik 4)
• Kurang memadai infrastruktur pertanian mengganggu produktivitas hasil pertanian dan distribusi sehingga margin biaya distribusi tinggi, harga pokok pembelian (HPP) tidak dinikmati petani (peran tengkulak sangat tinggi).
• Rendah tingkat produktifitas dan kualitas hasil perkebunan dan holtikultura.
 
• Lambat transfer teknologi/informasi pada petan, produktifitas sulit dipacu
• Iklim usaha dan investasi belum kondusif
• Kinerja kelembagaan mendukung pertanian belum optimal
 
• Rendah akses petani pada sumber informasi
 

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz13.gif

Utama dalam pembangunan pertanian adalah lahan dan air. Dalam dekade terakhir luas lahan pertanian 17,19% dari total lahan terdiri 4,08% areal perkebunan; 4,07% lahan sawah; 2,83% pertanian lahan kering dan 6,21% ladang berpindah. Tingkat pemanfaatan lahan sangat bervariasi antar daerah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama sawah dan lahan kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan (Grafik 1), terutama untuk kelapa sawit.

Peningkatan penduduk 2000-2003 sekitar 1,5% pertahun menjadi tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Konversi lahan pertanian terjadi pada lahan sawah berproduktivitas tinggi untuk permukiman dan industri. Karena, lahan sawah produktivitas tinggi berada seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa dan Bandung, mempunyai prasarana memadai untuk pembangunan sektor non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Sekitar 9 juta ha lahan terlantar dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang. Pemanfaatan bertahap mendorong swasembada produk pertanian dan berpotensi ekspor. Sekitar 32 juta ha lahan, terutama di luar Jawa, dapat dijadikan lahan pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem.

Untuk itu, revitalisasi pertanian, pengembangan lahan pertanian ditempuh:
• Reformasi agraria meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air (irigasi) serta meningkatkan rasio luas lahan per kapita
• Pengendalian konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha
• Fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan lahan pertanian baru) yang disesuikan dengan karakteristik iklim dan tanah.
• Penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri (penciptaan nilai tambah dari produk pertanian) sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.

KINERJA PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
RKP tahun 2009 - “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan” – pemerintah siapkan 3 paket program penanggulangan kemiskinan:
 




Program Raskin 

Operasi pasar khusus beras (OPK beras) sejak 1998 adalah cikal bakal program Raskin. Program raskin adalah strategi preventif mengatasi kelompok miskin rawan pangan. Periode 1998–2003, melalui OPK beras/Raskin, didistribusi lebih 10 juta ton beras (rata-rata 1,7 juta ton/thn) untuk sekitar 7,1 juta rumah tangga miskin nasional

Program RASKIN mengurangi beban RTM melalui pemenuhan kebutuhan pangan pokok/beras. Program RASKIN 2008 untuk membantu 19,1 juta RTM data BPS (1 September 2006,(tabel 2) , melalui pendistribusian beras bersubsidi sebanyak 15 Kg/RTM/bulan selama 12 bulan dengan harga tebus Rp 1.600 per kg netto di titik distribusi.


Realisasi Raskin sampai Oktober 2009 (Tabel 6):
Realisasi Raskin 2005–2009 mencapai +/- 90 % - 99,9% yang mengindikasikan:
• Sasaran penerima manfaat meningkat mendekati kebutuhannya.
• Pencapaian penerima manfaat selalu lebih banyak daripada pagu sasaran.
• Raskin juga berfungsi sebagai alat pengendali harga beras konsumen.

http://www.ekonomirakyat.org/images2/hari_aziz15.gif


Kesimpulan:
 

1. Besarnya penduduk masih miskin & menganggur dan tinggal di wilayah perdesaan, menjadikan sektor pertanian sebagai sektor kunci pembangunan.
2. Produktivitas dan kualitas sektor pertanian adalah 2 hal yang harus dibenahi sehingga sektor pertania menjadi andalan mengatasi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Perlu master plan komprehensif dari lembaga terkait untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas sektor pertanian ini.
3. Luas lahan pertanian produktif yang mengecil menurunkan produktivitas. Reformasi UU Agraria harus dilakukan. Kompensasi terhadap peralihan lahan produktif harus berkorelasi terhadap peningkatan produktivitas pertanian.
4. Subsidi pupuk yang terus meningkat seharusnya meningkatkan produktivitas. Implementasi yang efisien dan efektifit harus terus diupayakan.
5. Kualitas produktivitas dan keterbatasan lahan bisa diatasi dengan anggaran R&D Pertanian menemukan varian produk, sistem produksi, pemasaran, & industri sektor pertanian. Investasi pertanian harus didorong.
 
6. Pentingnya sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengangguran, perlu monitoring intensif bagi perencanaan program dan pelaksanaan program pertanian oleh lembaga terkait sehingga pencapaian sasaran target tepat waktu.


Oleh: Dr. Harry Azhar Azis -- Ketua Badan Anggaran DPR RI



tugas individu 4

Sejumlah Operator Seluler Terus Pangkas Karyawan
| Erlangga Djumena | Kamis, 15 Desember 2011 | 11:06 WIB 


JAKARTA, KOMPAS.com — Operator seluler terus berupaya mengikis biaya yang membenahi bisnis mereka. Pasar yang jenuh serta persaingan bisnis yang mengetat memaksa mereka harus efisien. Strategi yang kini marak dilakukan adalah memangkas tenaga kerja.
Setelah pertengahan tahun ini, PT Indosat Tbk memangkas 26 persen dari 3.000 karyawannya melalui program pensiun Voluntary Separation Scheme (VSS), tahun depan sejumlah operator akan mengikutinya.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), misalnya, berencana memangkas 5.000 karyawannya menjadi 15.000. "Kami akan tawarkan pensiun dini ke mereka," tandas Eddy Kurnia, Head of Corporate Communication Affair PT Telkom.
Langkah ini dilakukan lantaran pendapatan per pelanggan atau average revenue per user (ARPU) anjlok. JP Morgan Securities menyebutkan, sepanjang Januari-Oktober 2011 lalu, ARPU operator seluler kita rata-rata anjlok 4 persen-14 persen year on year.
Biang masalahnya adalah persaingan tarif yang tidak diimbangi dengan peningkatan pemakaian layanan suara (voice) dan SMS.
Rencananya, Telkom akan menggelar program pensiun dini secara bertahap mulai 2012. Perusahaan ini akan menawarkan dua jenis paket pensiun, yakni golden shake hand dan silver shake hand.
Karyawan yang memilih program golden shake hand harus keluar dari Telkom. Adapun pegawai yang memilih silver shake hand, Telkom masih akan mempekerjakan mereka di unit usahanya.
Adapun Indosat berencana menggelar pensiun dini pada kuartal I tahun depan. "Kami akan lihat situasi dulu," ujar Djarot Handoko, Public Relation Manager Indosat.
Sarwoto Atmosutarno, Direktur Utama PT Telkomsel, menuturkan, tren efisiensi tenaga terjadi di seluruh dunia. Meski begitu, dalam jangka pendek Telkomsel belum berencana untuk memangkas pegawai.
Namun, bila keadaan memaksa, Telkomsel juga akan melakukan langkah serupa, yaitu memangkas tenaga kerja, utamanya di bidang pemeliharaan menara base transceiver station (BTS). "Ini juga terkait rencana penjualan menara BTS kepada PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)," tandas Sarworto.
Jika rencana ini terealisasi, ancaman angka pengangguran di Indonesia akan terus membengkak. (Yudo Widiyanto, Arif Wicakson/Kontan)

tugas individu 3

EDITORIAL (Edisi 2011-01-10)
POLITIK PERTANIAN YANG MENSEJAHTERAKAN PETANI

Kita semua mengetahui, bahwa kegiatan pertanian memiliki ciri yang khas, unik, dan berbeda dengan kegiatan manusia lainnya. Pertanian dasarnya adalah iklim, tanah, air, dengan tanaman atau hewan yang membentuk jejaring ekologi yang sangat kompleks dimana manusia berada di dalamnya. Ditambah kekhasan lain, seperti struktur kepulauan Indonesia, heterogenitas sumberdaya alam, plasma nutfah dan lingkungan menjadi ciri diversitas pertanian, merupakan bagian keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan jumlah penduduk urutan keempat terbesar dunia.

Ke depan, masalah utama yang kita hadapi adalah bagaimana mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin hari tampaknya semakin parah. Petani sebagai subyek terbesar dalam masyarakat pertanian, dalam banyak hal berusaha dengan sifat small scale, penuh keterbatasan aset, teknologi dan ketrampilan. Meski mereka telah membuktikan sebagai real investor dalam pembangunan pertanian selama ini, tetap dibutuhkan jaminan untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) usahanya. Jaminan terhadap struktur pasar produknya yang oligopolistik dalam wujud perusahaan multinasional, jaminan terhadap teknologi dan nilai tambah kegiatan produktifnya. Potret saat ini mencerminkan kondisi bahwa disain pembangunan pertanian kita belum mampu mengintegrasikan antara kegiatan ekonomi primer dengan kegiatan industri pengolahan dalam suatu integrasi yang solid dan padu, sehingga nilai tambah yang terjadi senantiasa seringkali bukan dinikmati oleh mereka.

Sebenarnya, banyak pelajaran telah kita peroleh. Bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan negara-negara umumnya sangat ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Kemajuan pertanian bukan hanya diperlihatkan oleh peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk-produk pertaniannya semata, tetapi lebih kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan, dalam suatu proses transformasi ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan apabila pertanian tumbuh menjadi sektor yang kuat dan sehat. Akar dari berkembangnya proses tersebut dicirikan oleh berkembangnya industri-industri berbasis pertanian sebagai landasan kokoh dari perkembangan perekonomian suatu negara maju. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat dijadikan cermin bagi Indonesia.

Mungkin kekeliruan kita selama ini adalah menempatkan ideologi pertanian terbatas hanya dalam konteks fisik dan kapital semata. Peningkatan produksi, produktivitas, ketahanan dan keamanan pangan, agribisnis, devisa adalah parameter-parameter penting, akan tetapi terkesan mengesampingkan aspek terpenting lain dari pertanian itu sendiri, yaitu petani dan kesejahteraannya. Ideologi semacam itu lebih bersifat hedonistik, meski memang sering menuai berbagai kisah sukses seperti tercapainya swasembada, akan tetapi sekaligus terlihat tanda-tanda ‘peminggiran’ subyek petani dan kesejahteraannya. Sejauh ini kita bahkan seringkali masih dihadapkan pada keprihatinan petani-petani di perdesaan, yang merupakan bagian terbesar masyarakat yang masih berada di “barisan belakang” dalam stratum kesejahteraan penduduk umumnya.

Mestinya, ideologi yang harus kita bangun adalah mendorong agar petani-petani di Indonesia memiliki hak-hak khusus seperti yang dapat dilihat berlaku di negara-negara maju. Hak-hak khusus ini diperlukan mengingat karakter dari pertanian itu sendiri, yaitu sebagai landasan berkembangnya peradaban yang lebih maju di satu pihak, tetapi di pihak lain petani akan selalu berada pada posisi yang lemah sebagai akibat dari karakter produk yang dihasilkannya. Tidak mungkin suatu masyarakat berkembang apabila kekurangan pangan, bahkan mengalami food-traps seperti saat ini. Tetapi di pihak lain, pangan ini memiliki nilai tukar yang rendah, bahkan nilai tambahnya tidak dinikmati oleh para petani sebagai produsennya. Oleh karena itu, menjadi hal yang ideal apabila kepentingan petani dan kepentingan negara menjadi satu tanpa meniadakan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya ideologi semacam ini, program swasembada pangan, misalnya, dapat bermanfaat secara nasional tetapi dapat saja merugikan petani, apabila pendapatan petani tidak dijamin.

Saat ini, lebih-lebih di tahun 2011 yang masih berada di bawah ketidakpastian perubahan iklim dan suasana global yang sangat dinamis, kita sangat membutuhkan bangunan modal sosial pertanian yang lebih kokoh, dengan menumbuhkan semangat dan motivasi menuju peningkatan kesejahteraan petani sebagai subyek. Politik ini pada dasarnya adalah bagaimana melindungi petani dari ketidakadilan pasar (input, lahan, modal, output, dan lainnya). Politik tersebut sebagai bagian penting untuk memberdayakan petani, yang pada dasarnya dapat diimplementasikan melalui berbagai strategi pengelolaan pasar sebagai upaya ‘menjamin’ kesejahteraan petani dari ketidakadilan dan resiko, kebijakan harga input pertanian, kebijakan penyediaan lahan pertanian, permodalan, pengendalian hama dan penyakit, dan kebijakan penanganan dampak bencana alam. Sikap dasar pembangunan pertanian seperti itu harus ditumbuhkan untuk meningkatkan semangat dan motivasi serta keadilan bagi petani sebagai human capital di perdesaan, untuk menghadapi era global yang tidak pernah menjamin terwujudnya keadilan pasar.

Politik kedua adalah bagaimana mengembangkan nilai tambah, yang pada dasarnya berfokus pada bagaimana mengimplementasikan strategi umum dalam memberikan arah bagi pengembangan industrialisasi pertanian. Strategi ini meliputi bagaimana upaya menetapkan berbagai fokus dan prioritas pengembangan industri pertanian berbasis pada sumber bahan baku yang dihasilkan di dalam negeri, bagaimana upaya pengembangan produk-produk antara sebagai bahan dasar untuk berbagai penggunaan (diversifikasi horisontal maupun vertikal) untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan yang kuat dan berkelanjutan, misalnya bagaimana strategi untuk mengembangkan jaringan distribusi dan transportasi pertanian yang terutama berbasis wilayah kepulauan (pelabuhan dan terminal produk pertanian sebagai unsur pokok, dsbnya), bagaimana strategi mengembangkan sistem informasi dan pemasaran pertanian, dan bagaimana strategi memanfaatkan limbah-limbah industri pertanian, serta berbagai strategi fiskal untuk memberikan insentif berkembangnya industri pertanian.

Kita tunggu langkah-langkah bijak dari para pemangku kebijakan.

Rudi Wibowo


tugas minggu kesepuluh

Anggota  Kelompok   : 1. Octa Indria (25211423)
                                      2. Linda Fatmawati Alfi (28211700)
                                      3. Lia Septyana M (24211095)
                                      4. Prastika Arianti (25211558)
                                      5. Agnestasia (20211323)
Kelas                           : 1EB21






TUGAS MINGGU 10
1.SEBUT & JELASKAN METODE PENDEKATAN SUMBER DAYA MANUSIA
2.UNTUK APA  ORGANISASI  MEMBUAT  RANCANGAN KOMPENSASI  BAGI   
   KARYAWANNYA
3.APA  PERBEDAAN ANALISIS  BEBAN KERJA  & ANALISIS  TENAGA  KERJA
4.APA YG  AKAN DILAKUKAN  KARYAWAN  JIKA  TERJADI KETIDAK 
   SEPAKATAN DENGAN  PERUSAHAAN TEMPAT MEREKA BEKERJA
5.SEBUTKAN  HUBUNGAN YG MENGATUR  ANTARA  TENAGA KERJA    
   DENGAN MANAJER  SUATU PERUSAHAAN   

 1. Metode Pendekatan Sumber Daya Manusia yaitu:
a.       Pendekatan sumber daya manusia
Pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya manusia.Dengan memperhatikan Martabat dan kepentingan manusia tidak diabaikan di dalamnya
b.      Pendekatan manajerial
Analisis prestasi pekerja serta kehidupan kerja para karyawan tergantung pada atasan.
c.       Pendekatan system
Personalia(HRD) merupakan subsistem dari sistem organisasi atau perusahaan, perlu dievaluasi dengan kriteria besarnya kontribusi yang dibuat dalam suatu perusahaan.
d.      Pendekatan Proaktif
Dapat meningkatkan kontribusi kepada karyawan, manajer dan organisasi perusahaan melalui antisipasi pada masalah yang akan timbul.
2. Tujuan Organisasi membuat rancangan kompensasi bagi karyawannya:
- Agar mempunyai karyawan yang cakap dalam suatu perusahaan
-Untuk Memotivasi karyawan agar giat dalam bekerja
- Agar para karyawan memiliki loyalitas terhadap perusahaan
3. Perbedaan Analisis  Beban Kerja & Analisis  Tenaga  Kerja
Analisis beban kerja meliputi perkiraan penjualan, menyusunan jadwal waktu kerja dan penentuan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan untuk membuat satu unit barang.
Analisis tenaga kerja menhitung jumlah tenaga kerja yang sesungguhnya dapat tersedia pada satu periode kerja.
4. Yang akan dilakukan  karyawan jika terjadi ketidaksepakatan kerja dalam suatu perusahaan:
- Demo
- Pemboikotan
- Mogok kerja
- Pindah kerja

5.  Hubungan yang mengatur antara tenaga kerja dengan manajer suatu perusahaan yaitu;

- Closed shop agreement.
- Union shop agreement.
- Open shop agreement.